Selasa, 01 Maret 2016



RESENSI NOVEL ASSALAMU'ALAIKUM BEIJING : CINTA, PENGORBANAN, PENGKHIANATAN DAN KETEGUHAN HATI

 
Sinopsis            :
Dewa dan Ra, menjalin hubungan kasih sejak duduk di bangku kuliah, dan tinggal selangkah lagi menuju gerbang pernikahan. Namun satu kekhilafan Dewa bersama Anita, rekan kerjanya yang memang telah lama jatuh hati padanya, membuat rencana indah itu harus buyar selamanya, dan Dewa terpaksa menikahi Anita yang hamil akibat kekhilafan tersebut.

Sementara itu, dalam perjalanannya di Beijing, Asma bertemu dan berkenalan dengan Zhongwen, pemuda yang sangat terkesan dengan kisah cinta sejati Ahei – Ashima, dan ngotot memanggil Asma dengan Ashima, karena menurutnya keduanya memiliki kemiripan wajah.


Lewat pertemanannya dengan Asma, Zhongwen banyak mendapat pencerahan tentang Islam, dan hidayah akhirnya menuntunnya  menjadi muallaf, meski sebagai konsekuensinya, Zhongwen terusir dari keluarga. Bagi Zhongwen, pengorbanannya itu belum seberapa dibandingkan apa yang dilakukan Mushab bin Umar, sahabat Rasulullah yang rela melepaskan harta, kedudukan dan kehormatannya saat berhijrah pada agama Islam, dan mati syahid saat berperang melawan kaum musyrikin dalam kondisi kedua tangannya putus ditebas lawan.

Musibah kemudian menimpa Asma, saat ia divonis menderita APS. Penyakit yang berhubungan dengan pengentalan darah, yang membuatnya harus mengalami kesakitan luar biasa, serangan stroke, sulit bergerak bahkan nyaris buta. Penyakit itu juga membuatnya sangat tidak dianjurkan untuk hamil dan melahirkan.

Di sisi lain, Zhongwen yang mulai merasa jatuh cinta dengan Asma, berusaha keras untuk mencari dan menemukan Asma yang mendadak hilang berita. Sementara itu Dewa tak juga berhasil melepaskan bayang-bayang Ra dari kehidupan rumah tangganya, pun sampai Anita nekad berusaha bunuh diri dan anak mereka lahir, Dewa tetap gagal menerima kenyataan dan menyayangi Anita sebagai istri secara layak.

Berhasilkah Zhongwen menemukan Asma? Akankah cintanya luntur saat mengetahui kondisi Asma? Akankah pula kebahagiaan atau duka yang bertubi-tubi terus mendera kehidupan Asma? Bagaimana pula dengan rumah tangga Dewa dan Anita?

Cinta, pengkhianatan, kesetiaan, pengorbanan dan keteguhan hati. Inilah makna yang terangkum dalam novel karya salah satu penulis wanita kaliber tanah air ini. Makna Cinta terwakilkan oleh impian keempat tokohnya : Dewa, Ra/Asma, Zhongwen dan Anita. Pengkhianatan pula terwakilkan oleh sosok Dewa, kesetiaan dan pengorbanan oleh sosok Zhongwen, dan kesabaran serta keteguhan hati oleh sosok Ra sekaligus Asma.

Kualitas Asma Nadia kembali dibuktikan lewat novel ini. Novel yang sebagian kisahnya akan mengajak pembaca menelusuri keindahan dan sisi historis kota Beijing serta mengenang perjuangan shahabiyah sebagai sisipan kisah yang bermakna.

Jalinan kisah antara Dewa-Ra-Anita, sedikit banyak mengembalikan ingatan saya pada novel Istana Kedua karya Asma, yang juga berbicara tentang pengkhianatan. Untungnya, kisah kesetiaan dan pengorbanan yang menyentuh dari sosok Zhongwen, dan kesabaran yang menggugah dari sosok Asma saat menghadapi derita akibat penyakitnya, cukup berhasil membuat novel ini tidak menjelma semacam episode berikutnya dari Istana Kedua ataupun dua novel yang berangkat dari premis yang sama.

Salah satu keunggulan mbak Asma dalam bertutur, yang sulit saya temukan pada karya-karya penulis manapun, adalah menghadirkan diksi yang mudah dicerna tetapi seakan-akan memiliki tenaga dalam yang luar biasa. Sehingga sulit rasanya untuk mengabaikan satu kalimat pun dan sulit pula untuk melupakan jalinan kisahnya usai menuntaskannya meski telah melalui masa berhari-hari. Puisi indah dan bermakna yang menjadi pembuka setiap bab turut memberi nilai plus sebagai ornamen cantik untuk novel ini. Dan tentu saja, pesan-pesan moral dan religius yang tersebar di sepanjang cerita, menjadi elemen penting lain yang meningkatkan bobot novel ini lebih dari sekadar novel cinta biasa, meskipun dalam penyampaiannya, mbak Asma masih menggunakan cara yang dominan eksplisit. Detil tentang penyakit APS juga turut memberi informasi penting pada pembaca awam.

Dengan sederet kelebihan tersebut, bukan berarti saya tak menyimpan harapan lain terhadap karya Asma Nadia. Di sini, saya ingin menganalogikan dengan lagu Kaulah Segalanya dan sang penyanyinya Ruth Sahanaya. Ketika Ruth menyanyikan lagu tsb belasan tahun silam, it sounded good. Saat Ruth menyanyikannya sekarang, it sounds good to, even better. Karena pengalaman dan vokal Ruth yang tentunya jauh lebih matang. Tapi, untuk penyanyi sekaliber Ruth Sahanaya, boleh dong, kalau sekarang saya request lagu lain selain Kaulah Segalanya atau yang segenre dengan itu?

Begitu pulalah halnya dengan mbak Asma Nadia. Melihat pada jam terbang, pengalaman, pengetahuan dan segudang prestasi yang beliau miliki, saya sangat berharap mbak Asma mau mengeksplorasi tema dan cara bertutur yang lebih variatif di luar konflik pengkhianatan cinta dan rumah tangga, juga penyampaian pesan yang meminimalisasi cara eksplisit. Memang, hal seputar pengkhianatan cinta dan kehadiran orang ketiga masih menjadi penyebab utama perpecahan rumah tangga dalam masyarakat kita dewasa ini, bahkan jumlahnya pun terus meningkat, dan tak ada yang salah dengan konsistensi mbak Asma dalam mengangkat tema-tema ini baik dalam karya fiksi maupun antologi non fiksinya. Namun saya tetap menantikan 'gebrakan' Asma untuk membuktikan kualitasnya dalam tema-tema yang lain pula.

Satu hal teknis dalam novel ini, secara berulang-ulang Asma menggunakan sebutan pemuda tampan, pemuda jangkung, wanita cantik, wanita bertubuh besar, dalam hampir semua babnya untuk mendeskripsikan fisik tokohnya. Saya teringat dengan kritik mas Ijul untuk novel duet perdana saya yang juga melakukan repetisi sejenis. Tanpa bermaksud membela diri, sebagai novel perdana, tentunya hal tsb menjadi masukan sangat berarti buat saya. Jadi, saat menemukan hal serupa terjadi dalam novel karya penulis dengan torehan prestasi yang butuh empat halaman buku untuk merangkumnya, jujur saja, saya nggak berani mengkritik, hanya mau bilang, kalau saya berulang kali dibuat tersenyum-senyum saat menemukan repetisi dimaksud :)

Saya juga jadi teringat dengan kata pengantar dalam salah satu novel Kang Abik, bahwa seolah-olah ada malaikat penjaga untuk karya-karya Kang Abik. Ini membuat novel beliau selalu berhasil meraih simpati dan apresiasi massa 'berkat' nilai-nilai kebaikannya yang sarat meski secara kekhasan dan teknis, menurut saya Kang Abik tergolong tidak terlalu spesifik.

Hal serupa juga saya temukan dalam karya-karya mbak Asma. Nilai-nilai kebaikan dalam karya seorang Asma Nadia, menurut saya, mampu membuat beberapa gangguan teknis dalam penulisannya pun, memudar dengan sendirinya.

Bagi anda yang menginginkan sajian novel cinta dengan bumbu-bumbu bergizi berupa nilai-nilai religius dan informatif,  maka novel yang satu ini berikut nama besar penulisnya, sudah menjadi satu paket lengkap untuk sebuah jaminan mutu dan stempel recommended.

0 komentar:

Posting Komentar