RESENSI NOVEL ASSALAMU'ALAIKUM BEIJING : CINTA, PENGORBANAN, PENGKHIANATAN DAN KETEGUHAN HATI
Sinopsis :
Dewa dan Ra, menjalin hubungan kasih
sejak duduk di bangku kuliah, dan tinggal selangkah lagi menuju gerbang
pernikahan. Namun satu kekhilafan Dewa bersama Anita, rekan kerjanya yang
memang telah lama jatuh hati padanya, membuat rencana indah itu harus buyar
selamanya, dan Dewa terpaksa menikahi Anita yang hamil akibat kekhilafan
tersebut.
Sementara itu, dalam perjalanannya
di Beijing, Asma bertemu dan berkenalan dengan Zhongwen, pemuda yang sangat
terkesan dengan kisah cinta sejati Ahei – Ashima, dan ngotot memanggil Asma
dengan Ashima, karena menurutnya keduanya memiliki kemiripan wajah.
Lewat pertemanannya dengan Asma,
Zhongwen banyak mendapat pencerahan tentang Islam, dan hidayah akhirnya
menuntunnya menjadi muallaf, meski
sebagai konsekuensinya, Zhongwen terusir dari keluarga. Bagi Zhongwen,
pengorbanannya itu belum seberapa dibandingkan apa yang dilakukan Mushab bin
Umar, sahabat Rasulullah yang rela melepaskan harta, kedudukan dan
kehormatannya saat berhijrah pada agama Islam, dan mati syahid saat berperang
melawan kaum musyrikin dalam kondisi kedua tangannya putus ditebas lawan.
Musibah kemudian menimpa Asma, saat
ia divonis menderita APS. Penyakit yang berhubungan dengan pengentalan darah,
yang membuatnya harus mengalami kesakitan luar biasa, serangan stroke, sulit
bergerak bahkan nyaris buta. Penyakit itu juga membuatnya sangat tidak dianjurkan
untuk hamil dan melahirkan.
Di sisi lain, Zhongwen yang mulai
merasa jatuh cinta dengan Asma, berusaha keras untuk mencari dan menemukan Asma
yang mendadak hilang berita. Sementara itu Dewa tak juga berhasil melepaskan
bayang-bayang Ra dari kehidupan rumah tangganya, pun sampai Anita nekad
berusaha bunuh diri dan anak mereka lahir, Dewa tetap gagal menerima kenyataan
dan menyayangi Anita sebagai istri secara layak.
Berhasilkah Zhongwen menemukan Asma?
Akankah cintanya luntur saat mengetahui kondisi Asma? Akankah pula kebahagiaan
atau duka yang bertubi-tubi terus mendera kehidupan Asma? Bagaimana pula dengan
rumah tangga Dewa dan Anita?
Cinta, pengkhianatan, kesetiaan,
pengorbanan dan keteguhan hati. Inilah makna yang terangkum dalam novel karya
salah satu penulis wanita kaliber tanah air ini. Makna Cinta terwakilkan oleh
impian keempat tokohnya : Dewa, Ra/Asma, Zhongwen dan Anita. Pengkhianatan pula
terwakilkan oleh sosok Dewa, kesetiaan dan pengorbanan oleh sosok Zhongwen, dan
kesabaran serta keteguhan hati oleh sosok Ra sekaligus Asma.
Kualitas Asma Nadia kembali
dibuktikan lewat novel ini. Novel yang sebagian kisahnya akan mengajak pembaca
menelusuri keindahan dan sisi historis kota Beijing serta mengenang perjuangan
shahabiyah sebagai sisipan kisah yang bermakna.
Jalinan kisah antara Dewa-Ra-Anita,
sedikit banyak mengembalikan ingatan saya pada novel Istana Kedua karya Asma,
yang juga berbicara tentang pengkhianatan. Untungnya, kisah kesetiaan dan
pengorbanan yang menyentuh dari sosok Zhongwen, dan kesabaran yang menggugah
dari sosok Asma saat menghadapi derita akibat penyakitnya, cukup berhasil
membuat novel ini tidak menjelma semacam episode berikutnya dari Istana Kedua
ataupun dua novel yang berangkat dari premis yang sama.
Salah satu keunggulan mbak Asma
dalam bertutur, yang sulit saya temukan pada karya-karya penulis manapun,
adalah menghadirkan diksi yang mudah dicerna tetapi seakan-akan memiliki tenaga
dalam yang luar biasa. Sehingga sulit rasanya untuk mengabaikan satu kalimat
pun dan sulit pula untuk melupakan jalinan kisahnya usai menuntaskannya meski
telah melalui masa berhari-hari. Puisi indah dan bermakna yang menjadi pembuka
setiap bab turut memberi nilai plus sebagai ornamen cantik untuk novel ini. Dan
tentu saja, pesan-pesan moral dan religius yang tersebar di sepanjang cerita,
menjadi elemen penting lain yang meningkatkan bobot novel ini lebih dari
sekadar novel cinta biasa, meskipun dalam penyampaiannya, mbak Asma masih
menggunakan cara yang dominan eksplisit. Detil tentang penyakit APS juga turut
memberi informasi penting pada pembaca awam.
Dengan sederet kelebihan tersebut,
bukan berarti saya tak menyimpan harapan lain terhadap karya Asma Nadia. Di
sini, saya ingin menganalogikan dengan lagu Kaulah Segalanya dan sang
penyanyinya Ruth Sahanaya. Ketika Ruth menyanyikan lagu tsb belasan tahun
silam, it sounded good. Saat Ruth menyanyikannya sekarang, it sounds
good to, even better. Karena pengalaman dan vokal Ruth yang tentunya jauh
lebih matang. Tapi, untuk penyanyi sekaliber Ruth Sahanaya, boleh dong, kalau
sekarang saya request lagu lain selain Kaulah Segalanya atau yang
segenre dengan itu?
Begitu pulalah halnya dengan mbak
Asma Nadia. Melihat pada jam terbang, pengalaman, pengetahuan dan segudang
prestasi yang beliau miliki, saya sangat berharap mbak Asma mau mengeksplorasi
tema dan cara bertutur yang lebih variatif di luar konflik pengkhianatan cinta
dan rumah tangga, juga penyampaian pesan yang meminimalisasi cara eksplisit. Memang,
hal seputar pengkhianatan cinta dan kehadiran orang ketiga masih menjadi
penyebab utama perpecahan rumah tangga dalam masyarakat kita dewasa ini, bahkan
jumlahnya pun terus meningkat, dan tak ada yang salah dengan konsistensi mbak
Asma dalam mengangkat tema-tema ini baik dalam karya fiksi maupun antologi non
fiksinya. Namun saya tetap menantikan 'gebrakan' Asma untuk membuktikan
kualitasnya dalam tema-tema yang lain pula.
Satu hal teknis dalam novel ini,
secara berulang-ulang Asma menggunakan sebutan pemuda tampan, pemuda jangkung,
wanita cantik, wanita bertubuh besar, dalam hampir semua babnya untuk
mendeskripsikan fisik tokohnya. Saya teringat dengan kritik mas Ijul untuk
novel duet perdana saya yang juga melakukan repetisi sejenis. Tanpa bermaksud
membela diri, sebagai novel perdana, tentunya hal tsb menjadi masukan sangat
berarti buat saya. Jadi, saat menemukan hal serupa terjadi dalam novel karya
penulis dengan torehan prestasi yang butuh empat halaman buku untuk
merangkumnya, jujur saja, saya nggak berani mengkritik, hanya mau bilang, kalau
saya berulang kali dibuat tersenyum-senyum saat menemukan repetisi dimaksud :)
Saya juga jadi teringat dengan kata
pengantar dalam salah satu novel Kang Abik, bahwa seolah-olah ada malaikat
penjaga untuk karya-karya Kang Abik. Ini membuat novel beliau selalu berhasil
meraih simpati dan apresiasi massa 'berkat' nilai-nilai kebaikannya yang sarat
meski secara kekhasan dan teknis, menurut saya Kang Abik tergolong tidak
terlalu spesifik.
Hal serupa juga saya temukan dalam
karya-karya mbak Asma. Nilai-nilai kebaikan dalam karya seorang Asma Nadia,
menurut saya, mampu membuat beberapa gangguan teknis dalam penulisannya pun,
memudar dengan sendirinya.
Bagi anda yang menginginkan sajian
novel cinta dengan bumbu-bumbu bergizi berupa nilai-nilai religius dan
informatif, maka novel yang satu ini
berikut nama besar penulisnya, sudah menjadi satu paket lengkap untuk sebuah
jaminan mutu dan stempel recommended.
0 komentar:
Posting Komentar